Laporkan Penyalahgunaan

Featured Post

Tags

Categories

ABOUT ME

I could look back at my life and get a good story out of it. It's a picture of somebody trying to figure things out.

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template

Facebook

Most Popular

Langsung ke konten utama

Email dari Amerika

Saya tertarik untuk membaca buku ini ketika selesai mengikuti Workshop Narrative Journalism di Makassar International Writer Festival bulan Juni 2015 lalu. Bukan karena judulnya, tapi lebih kepada ketertarikan saya pada materi workshop dan cara Janet Steele membagi ilmunya pada kami. Saya ingin tahu bagaimana ia menerapkan apa yang sudah dibaginya pada kami dalam tulisannya sendiri. Jadi begitu workshop selesai, saya langsung cuzz ke booth book sale untuk membeli buku Email dari Amerika ini.  



Janet Steele, adalah seorang profesor jurnalisme di School Of Media and Public Affairs, George Washington University, Washington DC. Janet sangat identik dengan narrative journalism (jurnalisme sastrawi). Pada 1997-1998 Janet mendapatkan beasiswa Fulbright untuk mengajar di Universitas Indonesia serta riset di Lembaga Pers Dr. Soetomo di tahun 2005 -2006. Setiap tahun Janet Steele bertandang ke Indonesia. Tidak heran saat saya bertemu dengannya di Makassar International Writer Festival, bahasa Indonesianya cukup lancar. Dia bahkan menulis Email dari Amerika dalam bahasa Indonesia.
Awalnya saya pikir ini semacam satu  essay yang panjang. Ternyata Email dari Amerika adalah kumpulan tulisan yang dikirim Janet Steele melalui email untuk mengisi sebuah  kolom di surat kabar Surya dari tahun 2007 hingga 2011. Topik yang ditulisnya tentang cerita sehari-hari yang mungkin bagi beberapa orang sangat sederhana, namun ketika  dilihat dari sudut pandang Janet Steele, seorang Amerika yang jatuh cinta pada Indonesia, ada kesan lain yang saya dapatkan.


Tulisan tentang salju, misalnya. Janet Steele bercerita tentang anak-anak sekolah di Amerika yang sangat suka salju.


Jika ada banyak salju, tidak ada sekolah! Istilahnya snow days atau hari salju.  ( Halaman 15)


Kontradiksi dengan anak-anak, para orangtua di Amerika tidak suka snow days karena mereka harus mencari tempat penitipan anak. Salju juga banyak memberi ‘kerepotan’ di jalan, bandara bahkan peraturan-peraturan. Misalnya setiap pemilik rumah harus bertanggung jawab menyapu salju dari trotoar di depan rumahnya.


Kalau ada pejalan kaki yang terpeleset karena salju belum disapu, si penghuni rumah bisa digugat. (Halaman 16)


Janet Steele juga banyak bercerita tentang Indonesia. Sebagai seorang Associate Professor  di Sekolah Media dan Urusan Publik di George Washington University, Janet sering berkunjung ke Jakarta, dan kota-kota lainnya di Indonesia untuk workshop Jurnalisme Sastrawi, menjadi pembicara atau melakukan research. Liburan kuliah di tempatnya mengajar menjadi waktu yang dipergunakan untuk Janet melakukan kegiatannya di Indonesia.


Di salah satu sub bab berjudul ‘Teknisi’ yang ditulisnya pada tanggal 25 Juli 2008, Janet Steele bercerita tentang mesin cuci di apartemennya di Jakarta  yang rusak.


Di Amerika, kalau ada seseuatu yang rusak biasanya dibuang. Beda sekali di Indonesia! Saya sangat terkesan dengan para teknisi Indonesia yang bisa memperbaiki apa saja.  (Halaman 83)


Setelah diperiksa ternyata yang rusak adalah bagian switch dari mesin cuci Janet. Sayangnya sang teknisi tidak membawanya. Alih-alih meninggalkan mesin cuci Janet begitu saja, sang teknisi memberi alternatif agar mesin cuci itu tidak perlu menggunakan switch.

Masih tentang teknisi, Janet mendapat kesulitan dengan bola lampunya.

Tidak ada masalah dengan bola lampu. Juga tidak ada masalah dengan kabel listrik dibagian bawah. Akhirnya dia melepaskan bagian atas. Ada kawat yang rusak! Sesudah beberapa menit Pak Nim memperbaiki kawat, lampu saya menyala. Saya sangat senang. Sekali lagi saya sangat yakin para teknisi Indonesia bisa memperbaiki apa saja. (Halaman 84)

Dan ketika dia kembali ke Amerika dan menemukan masalah yang sama denga mesin cucinya. Janet tidak bisa tidak membandingkan teknisi Amerika dan Indonesia. Teknisi Amerika menolak 'mengakali' sesuatu, karena standar perusahaan Indonesia dan Amerika yang berbeda. Janet harus menunggu switch yang dipesan dari pabrik satu atau dua minggu lagi.

Janet Steele tidak hanya bercerita tentang hal-hal yang ‘ringan’ tapi juga yang bersinggungan dengan politik. Ditulis dengan gaya narrative journalism, email yang berjudul Minggu Dili di tanggal 9 Agustus 2009 ini menarik sekaligus memberi persepsi baru.


Kemarin, Sabtu, saya bertemu dengan seorang teman dari Timor untuk makan siang, namanya Fatima. Dia dulu kuliah di Jakarta. Dia masih punya banyak teman di Indonesia. Waktu Fatima kuliah, dia tinggal di rumah kos bersama beberapa teman lain. Salah satu menjadi sahabat baik, seperti saudara dan ketika Fatima berada di Jakarta dia selalu mengunjungi ‘keluarga kedua’ itu.


Fatima bercerita mengenai ‘keluarga’ dia di Jakarta, terutama orang tuanya. Sesudah jajak pendapat tahun 1999 ayahnya tidak ingin Fatima kembali ke Dili. “Untuk apa?” dia bertanya. Lebih banyak kesempatan di Indonesia.


Tapi Fatima adalah putri Timor yang baik, dan dia membalas bahwa semua keluarga dia tinggal di sana. Selain itu, Timor Leste menjadi negerinya sendiri. ( Halaman 203 -204)


Di bagian lain dari buku ini, Janet Steele juga berkisah tentang pengalamannya dengan orang Dili. Mereka ternyata lebih suka berbahasa Indonesia dibandingkan berbahasa Portugis. Sama seperti petugas hotel lebih suka ‘‘menyelundupankan’ air mineral Aqua ke dalam kamar hotel Janet dibanding air import dari Portugis yang diharuskan di hotel tersebut.


Mungkin ada benarnya, orang Timor Leste hanya terpisah batas wilayah kenegaraan saja dengan Indonesia. Pada dasarnya hati mereka masih Indonesia banget.


Macam-macam kesan, pengalaman, selipan pemikiran dan perenungan ditulis Janet dalam 150 emailnya di buku ini. Selain pandangannya tentang Indonesia, Amerika, Malaysia,  dan beberapa tempat lain, Janet pun tak ragu membagi kisah pribadinya tentang keluarga, teman terdekat, mahasiswa dan bahkan tentang hewan peliharaannya : Conrad.


Saya memiliki burung beo, atau mungkin lebih tepatnya jika dikatakan dia yang memiliki saya. Namanya Conrad. Dia berwarna hijau dengan sedikit merah, biru dan kuning. Ukurannya kira-kira 35 sentimeter. Dia tinggal di sangkar burung besar, yang terletak dekat meja tulis di rumah saya. Tetapi biasanya pintu sangkar itu dibuka dan Conrad duduk di atas. Tempat favoritnya di atas bahu saya. ( Conrad, halaman 13)


Conrad menghiasi beberapa tulisan dari buku Email dari Amerika ini. Tidak mengherankan, karena selama 20 tahun Janet ditemani Conrad. Ada banyak hal-hal menarik yang mereka lalui bersama. Janet menggambarkan betapa Conrad adalah burung yang pencemburu.


Kecemburuan Conrad tidak hanya kepada orang-orang yang dekat pada Janet tetap juga kepada barang-barang yang ‘mengambil perhatian’ Janet. Dia tidak suka pada televisi, alat penghisap debu dan radio. Menurut saya Conrad tidaklah sepencemburu itu. Mungkin dia cuma tidak suka kebawelannya ditandangi. Mungkin..


Membaca tulisan-tulisan Janet tenang Conrad sedikit banyak membuat saya bisa mengerti perasaan Janet ketika Conrad akhirnya meninggal. Iyah… saya pun sedih dibuatnya.




Tulisan-tulisan Janet yang mengalir dan deskriptif memang bisa membawa kita melihat dan merasakan pengalaman-pengalaman yang ada dalam Email dari Amerika ini. Perbedaan dan persamaan dari Indonesia dan Amerika yang dirasakannya sebagai dosen / orang biasa ditulis dengan kerendahan hati dan tidak menjatuhkan satu negara dengan lainnya.


Saya juga menyukai bagaimana Janet membuat judul yang sangat singkat, hanya satu atau dua kata saja, namun menggambarkan apa yang diceritakannya. Sederhana, tidak perlu berbunga-bunga tapi tetap membuat orang tertarik untuk ingin tahu apa yang dituliskannya.


Saya bukannya tidak menemukan kekurangan dari buku ini, tapi tidak banyak. Saya pikir untuk beberapa email isinya ada yang  terlalu singkat. Kadang seperti berlari terburu-buru lalu tiba-tiba sudah ‘Salam hangat dan sampai minggu depan’ (Kalimat penutup semua email Janet). 

Sebenarnya bisa dimengerti karena tulisan-tulisan ini sejatinya untuk mengisi kolom surat kabar yang tentunya punya patokan berapa kata untuk setiap edisinya. Mungkin saya hanya terlalu menikmati membaca tulisan-tulisan Janet hingga tidak rela berhenti.


Bagaimanapun saya menikmati membaca buku ini. Banyak hal yang terkadang terlupa untuk diperhatikan dari hubungan antar manusia, antar manusia dan hewan, antar dua kehidupan di dua benua yang berbeda. Sayang buku ini tidak saya temukan di toko-toko buku besar. Tapi mungkin jika berminat bisa menghubungi Yayasan Pantau melalui twitter di @@Yayasan_Pantau.  

Yes, I Got Her Signature and Note. Yay! 

Email dari Amerika ditulis dalam bahasa Indonesia ala Janet Steele yang bisa dinikmati bahkan untuk orang yang merasa berat untuk membaca literatur non fiksi sekalipun. Menarik untuk dibaca, selayaknya surat dari seorang teman lama.

Komentar

  1. tadi awlanya aku berpikir ini buku terjemahan, sampai menemukan kalimat pada alinea terakhir 'ditulis dalam bahasa Indonsia ala Janet'. Wowww...aku berdecak kagum tentunya.
    Very nice review mb Vita for the nice book
    Jadi pengen punya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah, harusnya saya menempatkan informasi itu di awal tulisan supaya orang gak keder duluan yah? Terima kasih , saya sudah menambahkan profil singkat Janet Steele di bagian awal.

      Hapus
  2. Isi bukunya sepertinya menarik ya.. Spt yg sdh saya bilang dlm komen di postingan Vita sebelumnya.. Saya itu sulit sekali menuangkan pikiran saya melalui tulisan.. Kalaupun bisa..sepertinya harus ada kejadian tertentu yg bisa menstimulus otak saya utk menulis.. Dan tulisannya bisa jadi panjang tuh.. Malah terkesan curcol :D .. Tapi mungkin..itu salah satu proses & bisa jadi sebuah sarana utk lebih rajin lagi menuangkan apa yg ada di pikiran kita melalui tulisan ya Vita.. Bisa jadi curcol yg kita tulis bisa menjadi seperti tulisan Janet Steel tadi.. Betul kan? ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buku ini tidak mengintimidasi, malah mungkin bisa membantu Nenden untuk lebih terbuka dalam menulis. Seperti yang kamu bilang curcol bisa saja dijadikan tulisan. Menurut saya tidak apa jika diawal kita menulis sangat panjang karena curcol yang berlebihan. Setelah puas nulis, diantepin dulu beberapa saat lalu dibaca ulang sambil diedit. DIbuang yang tidak perlu atau menambahkan kalimat yang lebih singkat. Dicoba dulu Nenden. Coba dengan ngetwit dulu. Twitter sejatinya adalah blog ukuran micro. Belajar saja dulu disitu.

      Hapus
  3. Buku yang menarik. Jadi pengen baca utuh deh...

    BalasHapus
  4. Jadi pengen kenal Janet at least tulisan2nya

    BalasHapus
  5. Eh soal narrative journalism ini sama ga kayak literary journalism?

    BalasHapus
  6. "nemu" buku ini pas cfd akhir bulan april.. karna ane lebih tertarik "ngorek" buku daripada barang diskonan apapun.. bakal nemu sesuatu..salah satu nya ini.. tulisan nya ringan (menurut ane yg ga terlalu fokus jurnalistik) cocok buat bacaan selagi senggang, karena tidak perlu pembatas buku..

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan share postingan ini jika suka, tapi.. jangan dicopas ya. Semua komentar dimoderisasi terlebih dahulu. Komen dengan link hidup, mohon maaf tidak saya approve. A happy reader is one of my excitement of being blogger. Terima kasih sudah berkunjung.